Antara Masa Depan dan Keluarga
Ini adalah sepenggal cerita sedih pribadi saya sendiri, yang mengakhiri dunia perkuliahan karena terkendala biaya. Ini terjadi pada diri saya di awal tahun 2016 silam.
Saya adalah Mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Kota Padang, dan memfokuskan diri pada jurusan Manajemen Industri. Entah kenapa, sejak kecil aku sangat mendambakan untuk bisa memegang gelar Sarjana Ekonomi.
Namun semua realita tidak berjalan sesuai harapan, aku mendapati suatu kendala yang tak bisa kupungkiri, dan mengharuskanku untuk menerima semuanya dengan lapang dada. Ya, masih masalah klasik, yakni Biaya.
Kendala terbesar bukan di situ, namun keadaan kesehatan sang Ayah di kampung yang kian memburuk dari hari ke hari. Keuangan yang ada semakin menipis karena totalitas dialihkan untuk biaya pengobatan beliau.
Kisah bermula ketika tiba saatnya untuk membayar uang semester, yang seingat aku berjumlah Rp.1.800.000,- / 6 bulan. 1 minggu sebelum ambang pembatasan berakhir, ibu menelponku..
“Assalamualaikum..” buka ibu.
“Waalaikumsalam bu..” jawabku.
“Nak, ibu cuman mau bilang, kalo kesehatan ayahmu semakin memburuk. Untuk biaya SPP kuliahmu sudah ada, tapi sepertinya keadaan ayahmu mengharuskan dia untuk berobat. Sedangkan uang hanya tinggal untuk SPP kamu saja..” ungkap ibu dengan nada sedikit lirih.
Aku tidak bisa berkata banyak, selain air mata yang perlahan jatuh. Dengan berusaha tenang, aku memutuskan sesuatu yang sangat bertolak dengan keinginanku selama ini.
“Bu, kesehatan ayah lebih penting, soal SPP aku, jangan dipikirkan dulu, lebih baik alihkan uang tersebut untuk biaya pengobatan ayah..” ucapku.
“Kamu yakin? Jadi bagaimana soal perkuliahanmu? Bukannya kamu bilang kalau ambang akhir pembatasan adalah akhir Minggu ini..?” Tanya ibu.
“Iya bu, batasnya memang minggu ini. Tidak apa-apa bu, tidak perlu dipikirkan, pengobatan ayah lebih penting..” tuturku.
“Jadi, bagaimana dengan nasib perkuliahanmu..?” Tanya ibu kembali.
“Bu, aku udah memikirkan ini sejak kemarin malam, aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan pulang ke kampung berkumpul lagi dengan kalian semua…” Ucapku.
Jujur, ini adalah keputusan paling pahit yang pernah aku keluarkan sepanjang hidupku. Ibu terdiam sejenak dan kemudian menjawab..
“Nak, jika memang itu yang kamu inginkan, ibu tidak bisa berkata banyak lagi. Ibu cuman mau kamu bisa memahami bagaimana keadaan ekonomi kita sekarang..” gumam ibu.
“Iya bu, aku paham dan mengerti. Jadi jangan pikir panjang lagi soal perkuliahanmu, fokus saja untuk pengobatan ayah..” kuakhiri pembicaraan.
Setelah telepon kututup, rasa berkecamukpun muncul dikepala, aku baru saja mengeluarkan suatu keputusan terpahit, yang sejatinya sangat tidak aku inginkan.
Semenjak saat itu, aku hanya memikirkan bagaimana nasib masa depanku kelak jika tidak terlahir sebagai seorang pemuda yang punya gelar pendidikan. Namun karena keadaan memaksaku seperti ini, aku hanya bisa bersabar dan bertawakkal kepada Allah SWT.
Sumber : Wikipedia
Komentar
Posting Komentar